2 Tesalonika 2:15- “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.”
Menurut orang-orang Protestan, Kitab Suci mengajarkan bahwa Kitab Suci (kata-kata Allah yang tertulis) adalah satu-satunya aturan iman seorang Kristiani. Bersama dengan justifikasi {pembenaran} lewat iman saja (sola fide), Kitab Suci saja (sola scriptura) adalah salah satu prinsip utama “reformasi” Protestan.
Tetapi, kenyataannya adalah bahwa Kitab Suci tidak mengajarkan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya aturan iman untuk seorang Kristiani. Kita akan melihat bahwa Kitab Suci mengajarkan bahwa Kitab Suci dan tradisi para Rasul adalah sumber dari wahyu Kristus, dan bahwa seseorang harus menerima keduanya bersama dengan Gereja. Itulah mengapa Gereja Katolik selalu mengajarkan bahwa terdapat dua sumber wahyu ilahi (Kitab Suci dan Tradisi Suci); dan bahwa Gereja yang dibangun oleh Yesus Kristus telah diberikan kuasa untuk menentukan arti sejati dari Kitab Suci dan Tradisi.
YESUS BERKATA BAHWA SESEORANG HARUS MENDENGARKAN JEMAAT {GEREJA}, YANG IA TIDAK AKAN PERNAH KATAKAN BILA KITAB SUCI MENGAJARKAN KITAB SUCI SAJA
Matius 18:17- “Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat {church dalam bahasa Inggris – ekklésia dalam bahasa Yunani}. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.
Lukas 10:16- “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.”
Ajaran Yesus ini, bahwa seseorang harus mendengarkan Gereja jika ia tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah, membantah ide Sola Scriptura {Kitab Suci saja}.
Yohanes 15:20- “...jikalau mereka telah menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu.”
Ibrani 13:17- “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu...”
KITAB SUCI MENGAJARKAN BAHWA GEREJA, DAN BUKAN KITAB SUCI, ADALAH TIANG PENOPANG DAN DASAR KEBENARAN
1 Timotius 3:15- " Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.”
Seperti yang seorang mantan pendeta Protestan (yang akhirnya melihat kepalsuan Protestantisme) katakan: “Jika sayalah yang menulis ayat tersebut [1 Tim. 3:15] sebagai seorang Protestan, saya akan menyebutkan bahwa Kitab Sucilah, bukan Gereja, tiang penopang dan dasar dari kebenaran. Tetapi St. Paulus berkata bahwa Gerejalah keduanya. Hal ini berarti bahwa Gereja haruslah dalam segala hal mutlak sempurna seperti Kitab Suci, dan Gereja harus menghadirkan sesuatu yang unik dalam menyajikan kebenaran akan Yesus Kristus.”
Peranan unik dari Gereja adalah bahwa ia mengajarkan arti sejati Kitab Suci dan Tradisi dalam istilah-istilah dan dogma-dogma yang tepat, yang bukanlah tujuan dari Kitab Suci di dalam seluruh ayat-ayatnya. Terlebih lagi, jika Gereja adalah sempurna dan merupakan tiang penopang kebenaran, tentunya harus terdapat sebuah cara untuk mengakui ajarannya yang sempurna lewat otoritas yang turun-temurun yang akan menjaga kebenaran dan penggunaan kekuasaannya.
KITAB SUCI MENGAJARKAN BAHWA KATA-KATA LISAN ADALAH “SABDA ALLAH” DI SAMPING KATA-KATA YANG TERTULIS
Kesalahpahaman Protestan yang umum adalah bahwa “sabda Allah” merujuk hanya kepada Kitab Suci. Kenyataannya adalah bahwa Kitab Suci berulang kali menyebut bahwa tradisi lisan adalah “Firman Allah”. (Yesus Kristus sendiri juga disebut “Firma Allah” di Yohanes 1 dan Ibrani 11:3). Dengan mendeskripsikan tradisi lisan sebagai “firman Allah”, Kitab Suci menunjukkan bahwa tradisi oral para rasul adalah sempurna {infallible}; dan bahwa hal tersebut melambangkan, bersama dengan Kitab Suci, salah satu sumber wahyu Yesus Kristus yang harus diterima.
1 Tesalonika 2:13- “Dan karena itulah kami tidak putus-putusnya mengucap syukur juga kepada Allah, sebab kamu telah menerima firman Allah yang kami beritakan itu {which ye heard of us}, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi--dan memang sungguh-sungguh demikian--sebagai firman Allah, yang bekerja juga di dalam kamu yang percaya.”
St. Paulus jelas-jelas merujuk kepada tradisi lisan.
Kolose 1:5-6- “...oleh karena pengharapan, yang disediakan bagi kamu di sorga. Tentang pengharapan itu telah lebih dahulu kamu dengar dalam firman kebenaran, yaitu Injil, yang sudah sampai kepada kamu. Injil itu berbuah dan berkembang di seluruh dunia, demikian juga di antara kamu sejak waktu kamu mendengarnya dan mengenal kasih karunia Allah dengan sebenarnya.”
Kata-kata yang didengar ini dideskripsikan sebagai “firman kebenaran” dan Injil. rujukan kepada “firman” yang telah datang ke seluruh dunia mendukung bahwa ayat ini merujuk kepada kata-kata lisan dan bukan Kitab Suci; karena tidaklah mungkin bahwa hal ini merujuk kepada Kitab Suci pada waktu yang sama.
Yohanes 17:20- “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka {through their word}.”
Yesus berdoa untuk mereka yang akan percaya lewat “pemberitaan” para Rasul-Nya. Tetapi hanyalah beberapa dari Rasul-rasul-Nya yang menulis kata-kata di dalam Kitab Suci. Kebanyakan tidak. “Pemberitaan mereka” lewat mana orang akan percaya, haruslah, maka dari itu, merupakan khotbah mereka dan komunikasi tradisi lisan dan bukan tulisan mereka.
Lukas 8:11-13- “Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu ialah firman Allah. Yang jatuh di pinggir jalan itu ialah orang yang telah mendengarnya; kemudian datanglah Iblis lalu mengambil firman itu dari dalam hati mereka, supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan. Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad.”
Ayat ini jelas-jelas menggambarkan sabda Allah sebagai “firman Allah”.
Lukas 4:44 – 5:1- “Dan Ia [Yesus] memberitakan Injil {he preached} dalam rumah-rumah ibadat di Yudea. Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah.
Lukas 3:2- “...pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun.”
Hal ini merujuk kepada wahyu kepada St. Yohanes Pembaptis.
Kisah Para Rasul 4:31- “Dan ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat mereka berkumpul itu dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan firman Allah dengan berani.”
Dipenuhi Roh Allah, St. Petrus mengkhotbahkan Injil dengan berani.
KITAB SUCI MENGAJARKAN BAHWA TRADISI LISAN HARUS DITERIMA BERSAMAAN DENGAN KITAB SUCI
Ayat-ayat berikut membantah seluruh ide akan Kitab Suci saja. Mereka menunjukkan bahwa Kitab Suci mengajarkan bahwa tradisi para Rasul juga harus diterima. Tradisi para Rasul telah diberikan oleh Yesus kepada para Rasul, tetapi tidak semuanya tertulis secara eksplisit di dalam Kitab Suci. Berikut adalah contoh dari Yudas 1:9, di mana kita membaca:
“Tetapi penghulu malaikat, Mikhael, ketika dalam suatu perselisihan bertengkar dengan Iblis mengenai mayat Musa, tidak berani menghakimi Iblis itu dengan kata-kata hujatan, tetapi berkata: "Kiranya Tuhan menghardik engkau!””
Pertentangan antara Iblis dan Mikhael Malaikat Agung tidak dijelaskan dengan detail di dalam Kitab Suci. Sang penulis menariknya dari sebuah tradisi. Berikut adalah ayat-ayat dari Perjanjian Baru yang menegaskan ajaran Katolik akan perlunya menerima Kitab Suci dan Tradisi.
2 Tesalonika 3:6- “Dan kami memerintahkan kepadamu, saudara-saudara, di dalam Nama Tuhan kita Yesus Kristus, untuk menjauhkan dirimu dari setiap saudara yang hidup tidak tertib dan tidak sesuai dengan tradisi yang telah ia terima dari kami. {Alkitab MILT 2008}
2 Tesalonika 2:15- “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.”
Hal ini jelas-jelas menunjukkan bahwa Kitab Suci sendiri mengajarkan bahwa tidak semua yang harus dipercayai tertulis adanya, tetapi beberapa disampaikan lewat tradisi lisan.
2 Timotius 2:1-2- “Sebab itu, hai anakku, jadilah kuat oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus. Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.”
1 Korintus 11:16- “Tetapi jika ada orang yang mau membantah, kami maupun Jemaat-jemaat Allah tidak mempunyai kebiasaan yang demikian.”
1 Korintus 11:23- “Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti...”
1 Korintus 15:2-3- “Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu {what I preached unto you}--kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya. Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri...”
Seperti yang dibuktikan ayat-ayat tersebut, “perintah manusia” (Matius 15:9, Markus 7:8, dst) yang Yesus kecam tidak berhubungan dengan tradisi apostolik sejati, yang Kitab Suci perintahkan kepada kita untuk terima. Yesus mengecam praktik buatan manusia dari orang-orang Farisi.
Menurut para pelajar, kitab terakhir di dalam Kitab Suci (Kitab Wahyu) dituliskan paling awal pada sekitar tahun 68 Masehi dan paling akhir sekitar tahun 95 Masehi. Yesus Kristus naik ke Surga kira-kira tahun 33 Masehi. Maka, bagaimanapun pandangan orang akan penanggalan Kitab Wahyu, tidak diragukan bahwa Gereja Kristus telah hadir dan beroperasi selama puluhan tahun (30 sampai 60 tahun) bahkan sebelum Kitab Suci diselesaikan. Jadi, siapakah yang membimbing umat Kristiani selama periode tersebut? Bagaimana mereka tahu persisnya bagaimana mereka harus beriman dan diselamatkan? Jawabannya: Gerejalah yang mengajarkan mereka.
Penulisan Kitab Wahyu diperkirakan antara 68 M - 95 M.
Gerejalah yang, sejak dari hari-hari awalnya, menjadi aturan utama iman untuk pertanyaan-pertanyaan doktrin Kristiani dan keputusan-keputusan telah dibuat untuk seluruh generasi bahkan sebelum Kitab Suci diselesaikan. Maka, adalah sebuah fakta bahwa Kitab Suci bukanlah dan tidaklah bisa menjadi aturan iman satu-satunya. Memang, baru setelah 300 tahun kemudianlah Gereja akan secara resmi menentukan kitab-kitab mana yang termasuk Kitab Suci.
BARULAH PADA ABAD KE-4 KANON KITAB SUCI AKHIRNYA DITENTUKAN
Hal ini adalah poin yang penting. Di dalam tiga abad pertama setelah Kristus, terdapat pertentangan akan susunan Kitab Suci yang persis. Susunan kitab-kitab (yang disebut Kanon) tidaklah sama di semua daerah. Beberapa kitab yang dianggap bagian Kitab Suci di beberapa daerah dicurigai atau ditolak di daerah-daerah lain.
Misalnya, Didache, Injil Barnabas, Surat Klemen Pertama, dan Gembala Hermas dianggap, di dalam beberapa kasus, sebagai kitab-kitab dalam Kitab Suci yang terilhami oleh Roh Kudus dan digunakan di dalam ibadah publik.[1] Walaupun mereka merupakan tulisan kuno yang sangat penting yang mengekspresikan tradisi Kristiani yang sejati, Gereja mendeklarasikan bahwa tulisan-tulisan tersebut bukanlah bagian dari Kitab Suci. Masalah ini tidak diselesaikan dan diklarifikasikan secara universal sampai kekuasaan Gereja Katolik menentukan urut-urutan Kitab Suci. Hal ini terjadi di Konsili Roma (382), Hippo (393), dan Kartago (397).
Sebelum Gereja membuat keputusannya, terdapat juga banyak keraguan akan 2 Petrus, kitab Yudas, Ibrani, 2 dan 3 Yohanes dan kitab Wahyu – semuanya akhirnya merupakan bagian Kitab Suci. Bahkan, “urut-urutan tertua yang dapat ditemukan akan kitab-kitab Kristiani adalah Kanon Muratorian, dari sekitar tahun 150 Masehi. Fragmen ini mengikutsertakan seluruh kitab Perjanjian Baru kecuali Ibrani, Yakobus, 1 Petrus, dan 2 Petrus, dan menganggap sebagai kanon [bagian dari Kitab Suci] Wahyu kepada Petrus dan Gembala Hermas, keduanya tidak diikutsertakan dalam kanon resmi Gereja.”[2]
Terdapat pula injil-injil yang palsu, seperti Injil Petrus, Injil Thomas, dan lain-lainnya. Injil-injil tersebut ditolak oleh Gereja dan tidak diikutsertakan di dalam Kitab Suci.
Karena orang-orang Protestan menolak kekuasaan Gereja Katolik, mereka sama sekali tidak memiliki cara untuk menentukan dengan pasti (i.e. tanpa salah) kitab-kitab mana yang menyusun Kitab Suci. Dari awal, Kitab Suci tidak memiliki sebuah daftar isi. Daftar isi telah ditambahkan oleh penerbit Alkitab anda. Alkitab tidak memberitahukan kitab-kitab mana yang terilhami dan kitab mana yang merupakan bagiannya. Lebih lanjut lagi, bahkan jika sebuah kitab menyebutkan kitab-kitab lain sebagai terinspirasi, dengan kriteria apa seseorang dapat menentukan bahwa kitab tersebut terinspirasi? Untuk sampai kepada urut-urutan yang sempurna untuk kitab-kitab tersebut, haruslah terdapat kekuasaan yang sempurna di luar Kitab Suci. Kekuasaan tersebut adalah Gereja. Maka, jika seseorang menolak kekuasaan sempurna Gereja dan hanya berpegang pada Kitab Suci saja, ia tetap tidak dapat menentukan apakah ia memiliki kitab-kitab sejati.
Sewaktu dihadapkan dengan masalah ini, seorang pelajar Protestan terkenal, R.C. Sproul terpaksa menggagaskan bahwa Kitab Suci adalah “kumpulan tidak sempurna akan kitab-kitab yang sempurna”. Jika anda pikirkan baik-baik hal tersebut, sebuah kumpulan yang tidak sempurna akan kitab-kitab yang sempurna adalah sebuah kontradiksi (pertentangan). Hal tersebut memberikan anda Kitab Suci yang tidak sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang Protestan tidak dapat mempertahankan secara logis bahwa Kitab Suci mereka adalah sempurna; karena mereka bahkan tidak tahu dengan pasti apakah mereka memiliki kitab-kitab yang benar.
Mengikuti inti masalah tersebut, setelah memisahkan diri dari Gereja Katolik, Martin Luther dan teman-teman Protestannya mencabut tujuh kitab dari Kitab Suci. Mereka mencabut kitab Tobias (Tobit), Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, Kitab Makabe Pertama dan Kedua, dan bagian dari Ester dan Daniel. Hasilnya, kitab suci Protestan (sampai hari ini) memiliki 66 kitab sedangkan Kitab Suci Katolik memiliki 73 kitab. Martin Luther dan para Protestan membuat keputusan drastis ini untuk mencabut tujuh kitab dari Kitab Suci, walaupun kitab-kitab tersebut telah diakui hampir secara universal sebagai bagian dari Kitab Suci selama lebih dari seribu tahun.
Terlebih lagi, ketujuh kitab yang para dicabut oleh Protestan dapat ditemukan di dalam Septuaginta. Septuaginta adalah sebuah terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani yang diselesaikan beberapa abad sebelum kelahiran Yesus Kristus. Beberapa orang mungkin bertanya: jadi mengapa Septuaginta sangatlah penting? Setelah yang kami utarakan di dalam bagian mengenai Api Penyucian, Perjanjian Baru mengutip dari Perjanjian Lama kira-kira 350 kali – dan sekitar 300 kutipan tersebut adalah dari versi Septuaginta. Hal ini berarti bahwa para penulis Perjanjian Baru menerima versi Septuaginta Perjanjian Lama, maka mereka juga menerima ketujuh buku yang ditolak oleh para Protestan.
Walaupun sering dikutip di Perjanjian Baru, Kitab Makabe dicabut dari Kitab Suci Protestan karena rujukannya terhadap doa untuk orang-orang yang sudah meninggal. Kepercayaan ini bertentangan dengan pandangan Protestan yang sesat, yang oleh karena itu, menyingkirkannya dari "kanon" Kitab Sucinya.
Harus dicatat pula bahwa bukanlah Kitab Suci, melainkan Tradisi dan Gereja yang menentukan penulis kitab-kitab dalam Kitab Suci. Injil Matius, sebagai contoh, tidak menunjukkan penulisnya. Dari Tradisi dan Gerejalah kita tahu siapa penulis Matius. Karena Kitab Suci tidak berbicara tentang penulis kitab Matius, logika orang Protestan akan mengharuskan mereka untuk menyimpulkan bahwa itu adalah pertanyaan yang terbuka.
Terlebih lagi, kesarjanaan Kitab Suci murni, tanpa petunjuk dari Gereja, tidak akan membimbing seseorang sampai kepada kanon alkitabiah yang benar. Kitab Filemon, misalnya, tidak memiliki ciri-ciri yang dimiliki kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya. Filemon tidak mengandung pesan keselamatan. Kitab tersebut hanyalah sebuah komunikasi dan permohonan tentang seorang budak yang melarikan diri. Fakta bahwa kitab ini mengklaim bahwa Paulus adalah penulisnya tidak cukup untuk membuktikan bahwa itu adalah bagian dari Kitab Suci, karena dokumen apa pun dapat membuat klaim tersebut dan tidak semua surat-surat Paulus diikutsertakan di dalam Kitab Suci.
DARI AWAL GEREJA, PARA ORANG-ORANG Bidah TELAH MENGUTIP DAN MENYALAHGUNAKAN KITAB SUCI UNTUK MENCIPTAKAN SEKTE DAN MENYEBARKAN AJARAN SESAT
Pada abad ke-4 Gereja bertarung melawan Arianisme. Hampir seluruh Gereja terpengaruhi ajaran sesat ini. Arianisme menolak keilahian Yesus Kristus. Arianisme berpendapat bahwa Allah Putra tidaklah kekal melainkan diciptakan pada suatu waktu oleh Allah Bapa. Pengajaran bidah ini sering kali licin dan pintar, dan orang-orang Arian mengutip banyak ayat di dalam Kitab Suci untuk mencoba membuktikan klaim mereka bahwa Yesus bukanlah seorang Allah sejati.
“...tidak lama setelahnya, jelaslah bahwa kesulitan yang nyata adalah untuk menetapkan pernyataan iman Kristiani yang secara mutlak dan jelas mengecualikan Arianisme. Para pelajar Arian memiliki interpretasi mereka sendiri untuk setiap ayat Kitab Suci yang berhubungan dengan keilahian Kristus. Masing-masing interpretasi yang dikemukakan di depan konsili mendapatkan banyak bisik-bisikan, kedipan mata, anggukan, dan berbagai gerakan tangan “saya tidak tahu” sampai-sampai mereka dapat menerimanya sebagai bagian dari syahadat konsili, karena mereka memiliki penjelasan Arian tentang hal itu. Sebuah istilah harus ditemukan, sesuatu yang tidak bisa mereka elakkan.” (Warren H. Carroll, A History of Christendom {Sejarah Kekristenan} Vol 2, Front Royal, VA: Christendom College Press, 1987, hal 11)
Untuk mengerti ajaran Kitab Suci dengan Tradisi Apostolik, pada tahun 325 Masehi, Gereja Katolik lewat Konsili Nicea dapat menolak bidah Arian dan menjelaskan dengan tepat ayat-ayat Kitab Suci yang disalahgunakan orang-orang Arian. Gereja mendeklarasikan bahwa Yesus adalah Allah sejati yang sederajat dengan Allah Bapa, dan menggunakan sebuah istilah yang tidak ditemukan di dalam Kitab Suci untuk mengecualikan semua dalih Arian. Gereja mengemukakan bahwa Yesus Kristus, Putra Allah adalah homoousios (konsubstansial atau sehakikat) dengan Allah Bapa. Hal ini menunjukkan arti sejati ajaran Kitab Suci akan Allah Tritunggal Mahakudus dan menghancurkan bidah Arian, yang mencoba untuk menyesuaikan seluruh ayat Kitab Suci dengan idenya yang sesat.
Arius, bidah abad ke-4 yang menentang keilahian Yesus Kristus, menyalahgunakan Kitab Suci dengan menafsirkan secara sesat ayat-ayatnya.
KITAB SUCI TIDAK DAPAT DIDISTRIBUSIKAN SECARA MASSAL SAMPAI ABAD KE-15
Sebelum ditemukannya alat pencetak pada abad ke-15, adalah sebuah upaya yang sulit dan memakan waktu untuk memperbanyak Kitab Suci. Hal tersebut harus dilakukan dengan tangan. Kesulitan ini, bersama dengan kebutahurufan yang umum, berarti hanya sedikit orang memiliki Kitab Suci selama 15 abad pertama Gereja. Apakah Allah meninggalkan Gereja-Nya tanpa jalan untuk mendistribusikan secara massal satu-satunya aturan iman untuk 1500 tahun pertama Gereja? Tentunya tidak. Ide ini konyol dan menyangkal dirinya sendiri. Dalam millenium pertama, aturan iman Kristiani adalah Gereja. Hal ini tetap sama pun hari ini. Gereja adalah aturan utama iman, yang memberikan pengertian yang benar akan Kitab Suci dan Tradisi, yang adalah kedua sumber dari wahyu Yesus Kristus.
MANUSKRIP ALKITAB ORISINAL TIDAK LAGI DAPAT DIPEROLEH
Manuskrip orisinal Kitab Suci tidak lagi ada. Kita memiliki kopi dari manuskrip orisinalnya, tetapi tidak memiliki manuskrip yang orisinal. Lalu, di manakah di dalam Kitab Suci diajarkan bahwa kopi dari manuskrip orisinal akan dilindungi dari kesalahan dan digunakan sebagai satu-satunya aturan iman Kristiani? Kitab Suci bahkan tiak mengajarkan bahwa ia adalah satu-satunya aturan iman untuk umat Kristiani, dan tentunya orang-orang Protestan tidak dapat membuktikan bahwa salinan Alkitab akan dilinungi dari kesalahan karena hal tersebut tidak tertulis di mana-mana. (Terlebih lagi, umat Katolik-lah, terutama para biarawan, yang mempertahankan Kitab Suci dengan menyalinnya.) Jika seorang Protestan berargumentasi bahwa Allah memastikan bahwa kata-kata-Nya dilindungi dalam proses penyalinan, maka orang Protestan tersebut berpindah keluar dari prinsip hanya Kitab Suci saja. Ia mengakui bahwa Allah menyebarkan perlindungan akan pengajaran-Nya dan kata-kata-Nya kepada badan-badan yang berkuasa dan orang-orang di luar Kitab Suci (contoh, Gereja Katolik). Jika hal tersebut dapat diterapkan kepada kata-kata yang tertulis, hal tersebut juga dapat diterapkan kepada ajaran lisan-Nya (Tradisi).
KITAB SUCI MENGAJARKAN BAHWA TERDAPAT HAL-HAL YANG TIDAK TERHITUNG YANG YESUS KATAKAN DAN LAKUKAN YANG TIDAK TERTULIS DI DALAM KITAB SUCI
Yohanes 20:30- “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini.”
Yohanes 21:25- “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.”
Tidak semua yang Yesus katakan dan ajarkan kepada para Rasul tertulis di dalam Kitab Suci. Hal ini jelas.
YESUS MEMERINTAHKAN PARA RASULNYA UNTUK MEMBERITAKAN INJIL, BUKAN UNTUK MENULIS
Dengan pengecualian yaitu perintah yang diberikan kepada St. Yohanes untuk menuliskan Kitab Wahyu, Yesus tidak memerintahkan kepada siapa-siapa untuk menulis apa pun. Tetapi, Ia memerintahkan mereka untuk memberitakan Injil dan membaptis.
Markus 16:15-16- “Lalu Ia berkata kepada mereka: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.”
Matius 28:19-20- “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Jika sabda tertulis dari Kitab Suci adalah satu-satunya aturan iman, seperti yang diklaim oleh orang-orang Protestan, Yesus akan memerintahkan mereka untuk menulis dan mendirikan kelompok pembaca Kitab Suci. Tetapi Ia tidak melakukan hal semacam itu. Yesus memerintahkan mereka untuk mengajarkan semua bangsa-bangsa seluruh kebenaran-Nya lewat kata tertulis, lewat pengajaran. Pertimbangan-pertimbangan yang sederhana ini menunjukkan bahwa posisi Protestan akan sola scriptura (yaitu Kitab Suci saja) adalah salah sama sekali.
KITAB SUCI TIDAK MENGAJARKAN BAHWA INTERPRETASI PRIBADI KITAB SUCI DIMAKSUDKAN OLEH YESUS
Kisah Para Rasul 8:30-31- “Filipus segera ke situ dan mendengar sida-sida itu sedang membaca kitab nabi Yesaya. Kata Filipus: "Mengertikah tuan apa yang tuan baca itu?" Jawabnya: "Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?" Lalu ia meminta Filipus naik dan duduk di sampingnya.”
Hal ini menentang ide Protestan bahwa siapa pun yang membaca Kitab Suci akan diterangi oleh Allah secara langsung. Kita dapat melihat bahwa hal tersebut bukanlah ajaran Alkitab.
Nehemia 8:8- “Bagian-bagian dari pada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti.”
2 Petrus 1:20- “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri.”
PAULUS BERKONSULTASI KEPADA JEMAAT (GEREJA) DAN BUKAN KITAB SUCI, SEWAKTU MENGHADAPI DILEMA DOKTRIN DI KISAH PARA RASUL 15
Kisah Para Rasul 15:1-2- “Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan." Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal itu.”
Sewaktu dihadapkan dengan dilema doktrin di dalam Kisah Para Rasul 15, Paulus tidak mencari keterangan dari Kitab Suci tetapi membicarakan hal tersebut dengan kepemimpinan Gereja.
St. Petrus dan St. Paulus. Walaupun St. Paulus mewartakan Injil di mana-mana, ia tetap berkonsultasi soal doktrin kepada Gereja.
Berikut adalah beberapa contoh lain di dalam Kitab Suci di mana ajaran-ajaran atau perintah yang dijalankan lewat komunikasi lisan dan tradisi, dan bukan dengan membaca Kitab Suci.
1 Korintus 11:34- “...Hal-hal yang lain akan kuatur, kalau aku datang.”
2 Yohanes 1:12- “Sungguhpun banyak yang harus kutulis kepadamu, aku tidak mau melakukannya dengan kertas dan tinta, tetapi aku berharap datang sendiri kepadamu dan berbicara berhadapan muka dengan kamu, supaya sempurnalah sukacita kita.”
PENOLAKAN: ORANG-ORANG PROTESTAN BERKATA BAHWA 2 TIMOTIUS 3:15-17 MENGAJARKAN KITAB SUCI SAJA
2 Timotius 3:15-17- “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”
Ayat ini tidak mengajarkan Kitab Suci saja. Ayat ini mengajarkan bahwa semua Kitab Suci terinspirasi {oleh Roh Kudus}. Hal ini mengajarkan bahwa semua Kitab Suci memberi berkat. Hal ini mengajarkan bahwa Kitab Suci memberikan seorang manusia alat untuk berbuat baik. Tetapi, poin-poin Protestan menunjuk kepada bagian yang berkata bahwa Kitab Suci memperlengkapi pengikut Allah untuk setiap perbuatan baik. Mereka menggugat bahwa kata-kata tersebut mengajarkan cukupnya Kitab Suci saja; bahwa tidak ada hal lain yang dibutuhkan. Hal ini digugat oleh beberapa poin.
Hal ini dibantah, pertama-tama, dengan melihat ayat-ayat dengan gaya bahasa yang mirip. Bahkan, kita hanya perlu melihat beberapa ayat sebelumnya untuk melihat contoh ini.
2 Timotius 2:21- “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia.”
Kitab Suci mengajarkan bahwa jika seseorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi siap untuk “setiap pekerjaan yang mulia”. Ini adalah kalimat yang sama seperti 2 Timotius 3:17. Tentunya, hal ini tidak berarti bahwa menyucikan dirinya sendiri dari hal-hal yang jahat itu sendiri cukup, dengan sendirinya, untuk melakukan setiap perbuatan baik. Bahkan orang-orang Protestan juga akan berkata bahwa seseorang tetap harus menerima Yesus, menaati kuasa Kitab Suci, dan menjauhi hal-hal lain. Maka, ini adalah contoh utama akan bagaimana orang-orang Protestan menyalahgunakan dan menyalahartikan kalimat di 2 Timotius 3:17. Yang kedua ayat tersebut katakan mensyaratkan (mengandalkan) kesetiaan kepada prinsip-prinsip Kristiani serta fondasi Kristiani lain.
Dalam kata lain, jika seseorang beriman Kristiani dan menerima kekuasaan yang ditetapkan Kristus, dan jika ia menyucikan dirinya sendiri dari hal-hal yang buruk, ia akan disiapkan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang mulia. Demikian pula, jika seseorang beriman Kristiani dan menerima Gereja, Tradisi, dsb, maka pengetahuannya akan Kitab Suci akan melengkapinya untuk melakukan seluruh perbuatan baik. 2 Timotius 3:17 tidak mengajarkan Kitab Suci saja. Berikut adalah contoh lain untuk hal ini:
Yakobus 1:3-4- “...sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”
Apakah hal ini berarti bahwa jika kita bertekun, kita tidak memerlukan apa pun lagi, termasuk Kitab Suci, dan Gereja, atau hal lainnya? Tentunya tidak. Hal ini mengandalkan hidup Kristiani, dan penerimaan seluruh institusi Kristiani (Kitab Suci, Tradisi, Gereja, dsb.).
KITAB SUCI SECARA SPESIFIK MEMPERINGATKAN AGAR TIDAK MENYALAHGUNAKAN KITAB SUCI UNTUK MENCIPTAKAN DOKTRIN-DOKTRIN SALAH YANG MENUNTUN SESEORANG KEPADA KEHANCURAN
2 Petrus 3:15-16- “Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain.”
Adalah hal yang menarik, bahwa ayat ini, yang berkenaan dengan memutarbalikkan Kitab Suci menjadi kebinasaan terdapat di dalam surat St. Petrus, yang dipilih untuk menjadi Paus pertama.
St. Petruslah yang memperingatkan orang-orang agar tidak menyalahgunakan tulisan St. Paulus. Tulisan St. Pauluslah yang paling sering disalahgunakan dan disalahartikan oleh para Protestan untuk menciptakan doktrin-doktrin palsu, seperti justifikasi {pembenaran} lewat iman saja dan Kitab Suci saja.
KITAB SUCI SAJA (SOLA SCRIPTURA): SEBUAH IDE YANG MENJADI POPULER BARU SEJAK ABAD KE-16
Ide bahwa Kitab Suci saja adalah sesuatu yang asing di kalangan Jemaat perdana. Seluruh jemaat-jemaat perdana lokal mengakui struktur hierarki Gereja dan peranan Tradisi dan wewenang Gereja atas pengertian Kitab Suci. Berikut adalah empat kutipan dari bapa-bapa Gereja yang terkenal untuk menunjukkan hal tersebut.
St. Yohanes Krisostomus, Homilies on Second Thessalonians {Homili tentang 2 Tesalonika}, 4, 2, 398 Masehi- “Maka, saudara-saudara, berpeganglah dengan teguh dan bertekunlah kepada tradisi-tradisi yang diajarkan kepadamu, secara lisan maupun lewat tulisan [2 Tes 2:15]. Dari sini, jelaslah bahwa mereka tidak menyampaikan semuanya lewat tulisan, tetapi bahwa terdapat banyak yang tidak tertulis. Seperti yang tertulis, yang tidak tertulis juga adalah layak untuk dipercayai. Maka, marilah kita memandang tradisi Gereja sebagai pantas untuk dipercayai. .” (Jurgens, The Faith of the Early Fathers {Iman Bapa-Bapa Gereja Perdana}, Vol. 2:1213)
St. Basilius Agung, The Holy Spirit {Roh Kudus}, 27, 66, 375 Masehi- “Dari dogma-dogma dan pernyataan-pernyataan yang dipertahankan di dalam Gereja, kita memiliki mereka dari ajaran tertulis dan yang lainnya kita terima dari tradisi para Rasul, yang disampaikan kepada kita di dalam misteri. Berkenaan dengan kekhidmatan, mereka memiliki kekuatan yang sama. Tidak satu pun menentang hal-hal ini, tiada seorang pun, bagaimanapun juga, siapa pun yang fasih dalam masalah gereja. Memang, jika kita mencoba untuk menentang kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis bahwa hal tersebut tidak memiliki kekuasaan yang besar, tanpa disadari, kita melukai Injil secara vital. (Jurgens, The Faith of the Early Fathers {Iman Bapa-Bapa Gereja Perdana}, Vol. 2:954)
St. Agustinus, Letter to Januarius {Surat kepada Yanuarius}, 54,1, 400 Masehi- “Tetapi, mengenai kebiasaan-kebiasaan yang kita hadiri dengan teliti dan yang semua orang jaga, dan yang tidak terdapat di dalam Kitab Suci, tetapi dari Tradisi, kita telah diberikan untuk mengerti bahwa kita dianjurkan untuk menjaga mereka, oleh para Rasul sendiri atau oleh para dewan pleno, kekuasaan yang sangat vital di dalam Gereja” (Jurgens, The Faith of the Early Fathers {Iman Bapa-Bapa Gereja Perdana}, Vol. 3:1419)
St. Atanasius, Letter II {Surat II}, Paskah 330 Masehi- “...ia [Paulus] bergegas untuk mengatakan, “Karena aku telah menyampaikan kepada kalian tradisi, berpeganglah kepada mereka dengan erat. “...Tetapi... bersamanya [Iblis] terdapat semua pencipta ajaran-ajaran sesat yang tidak sah, yang memang merujuk kepada Kitab Suci, tetapi yang tidak berpegang kepada pendapat-pendapat tersebut layaknya yang telah diwariskan oleh para santo-santa [yaitu Tradisi], dan sewaktu mereka menerima tradisi manusia, mereka keliru, karena mereka tidak mengenali tradisi secara benar dan tidak pun mereka mengenal kekuatan tradisi tersebut. Maka, Paulus secara pantas memuji para orang-orang Korintus karena opini mereka sesuai dengan tradisi Paulus. (Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series {Nicea dan Bapa-Bapa Gereja Setelah Nicea, Serial Kedua}, Vol. 5, hal. 511.)
Catatan kaki:
[1] Henry G. Graham, Where We Got the Bible: Our Debt to the Catholic Church {Dari Mana Kita Mendapatkan Kitab Suci: Utang Budi Kita kepada Gereja Katolik}, Tan Books, 1977, Bab 4; lihat pula Ireneus, Against Heresies {Melawan Bidah}, Buku 4, bab 20.
[2] Mike Aquilina, The Fathers of the Church {Bapa-Bapa Gereja}, hal. 28-29.
0 Komentar